flat-lay-cocoa-beans-pot

Biji Kakao Indonesia: Produksi dan prospek bisnis ke depan

Biji kakao merupakan salah satu produk ekspor ekspor pertanian terpenting Indonesia. Dalam 25 tahun terakhir, sektor kakao Indonesia mengalami pertumbuhan yang masif, didorong oleh pesatnya perluasan partisipasi petani kecil.

Tidak seperti komoditas lain yang bergulat dengan masalah kelebihan pasokan dan kurangnya permintaan akibat perlambatan ekonomi global, industri kakao Indonesia mengalami kekurangan pasokan di tengah meningkatnya permintaan dari industri hilir. Produksi kakao Tanah Air yang pernah melampaui produksi global, kini semakin menurun seiring bertambahnya usia tanaman kakao.

Produksi Kakao Indonesia

Petani kecil Indonesia menyumbang – sejauh ini – sebagian besar produksi nasional, sehingga mengungguli perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Negara ini saat ini memiliki sekitar 1,5 juta hektar perkebunan kakao.

Lokasi utama produksi kakao Indonesia adalah:

1. Sulawesi,

2. Sumatera Utara,

3. Jawa Barat,

4. Papua

5. Kalimantan Timur

Daerah penghasil utama kakao Indonesia adalah pulau Sulawesi yang menyumbang sekitar 75 persen dari total produksi kakao Indonesia. Karena produktivitas kakao Indonesia per hektar tertinggal dari negara penghasil kakao lainnya, pemerintah memulai program revitalisasi kakao lima tahunan pada tahun 2009 untuk menggenjot produksi melalui kegiatan intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan seluas 450 ribu hektar. Faktor-faktor yang menghambat kemajuan industri kakao adalah pohon yang sudah tua (ditanam pada tahun 1980-an), bahan tanam yang kurang baik dan pemeliharaan kebun yang kurang. Lebih banyak investasi di sektor ini diperlukan untuk mencapai target produksi pemerintah satu juta ton per tahun

Penurunan produksi kakao

Indonesia merupakan penghasil kakao utama dan saat ini menduduki peringkat ketiga dunia dalam hal produksi biji kakao. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi biji kakao Indonesia tahun 1990 hanya 142.347 ton. Angka tersebut meningkat secara signifikan year-on-year mencapai puncaknya pada tahun 2009 sebesar 849.875 ton.

Namun produksi biji kakao dalam negeri mulai menurun hingga mencapai 575.000 ton dan tren penurunan tersebut terus berlanjut. Penurunan produksi kakao yang terus menerus terutama disebabkan oleh usia tanaman kakao yang semakin tua sehingga produktivitasnya menurun. Selain itu, kualitas kakao Indonesia juga dirugikan karena kandungan kadmiumnya yang tinggi.

Ada sejumlah kendala yang dihadapi upaya peremajaan tanaman di Indonesia. Salah satunya adalah 94% perkebunan kakao negara dimiliki oleh petani kecil dengan dana terbatas untuk melakukan investasi yang signifikan di perkebunan mereka. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana negara untuk membantu petani meremajakan tanaman mereka melalui Gerakan Kakao Nasional. Sayangnya, hasil inisiatif ini terbatas karena kurangnya pendampingan yang diberikan kepada petani setelah benih dan pupuk baru didistribusikan. Anggaran pengembangan kakao di Indonesia juga diturunkan dalam APBN Perubahan 2016 dari Rp 1,2 triliun menjadi Rp 325 miliar karena rendahnya penerimaan negara.

Prospek Masa Depan Sektor Kakao Indonesia

The World Cocoa Foundation menyatakan bahwa peningkatan tahunan permintaan global untuk kakao adalah tiga persen per tahun, selama seratus tahun terakhir. Diperkirakan permintaan kakao global akan meningkat pada tingkat yang sama di tahun-tahun mendatang dan, dengan demikian, menempatkan Indonesia pada posisi yang berpotensi menguntungkan karena negara ini merupakan salah satu produsen dan pengekspor terbesar komoditas ini. Keunggulan kompetitif utama negara saat ini terletak pada kemampuannya untuk memasok biji kakao murah (kualitas rendah) dalam jumlah besar.

Namun, negara menghadapi kesulitan dalam meningkatkan peran penting kakao dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sekitar 90 persen produksi kakao Indonesia dihasilkan oleh petani kecil yang kekurangan dana untuk mengoptimalkan kapasitas produksi, sehingga produksi menurun karena pohon tua, penyakit, banjir dan semacamnya. Selain itu, karena perspektif industri kelapa sawit dan karet yang menjanjikan akhir-akhir ini, beberapa petani Indonesia telah mengalihkan fokus mereka ke komoditas tersebut, yang menyebabkan 1,5 juta hektar perkebunan kakao saat ini dapat semakin berkurang di tahun-tahun mendatang.

Sepanjang sejarahnya, sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao mentah. Hal ini mendorong pemerintah untuk menggairahkan industri pengolahan bernilai tambah nasional. Salah satu langkah penting untuk ini adalah pengenaan pajak ekspor biji kakao mentah pada tahun 2010 (Peraturan No. 67/2010), sebesar antara lima sampai 15 persen tergantung pada fluktuasi harga dunia. Sebelumnya, pajak ekspor hanya diterapkan pada biji olahan. Pajak ekspor baru ini merupakan insentif untuk membangun lebih banyak industri fermentasi dalam negeri serta sinyal bagi perusahaan pengolah untuk meningkatkan kinerjanya

Terlepas dari berbagai kendala, industri kakao Indonesia masih menarik dalam hal investasi mengingat meningkatnya permintaan global maupun lokal untuk produk kakao dan cokelat karena penurunan produksi membuat sektor ini siap untuk investasi hulu.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *