Setelah satu dekade negosiasi, Indonesia dan Uni Eropa akan menandatangani Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif (IEU-CEPA) September ini. Kesepakatan ini dapat menggandakan volume perdagangan dari $30 miliar menjadi $60 miliar dan menghapus tarif atas 80% ekspor Indonesia ke Uni Eropa.
Dampak Kemitraan Indonesia-Uni Eropa

Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Eropa (IEU-CEPA) tampaknya akan menjadi pengubah keadaan bagi kedua negara. Berikut dampaknya terhadap lanskap ekonomi Indonesia:
Peningkatan Ekspor
Peningkatan ekspor Indonesia ke Uni Eropa hingga 50% dalam kurun waktu tiga tahun Akses bebas tarif untuk 80% barang Indonesia, termasuk minyak sawit, tekstil, alas kaki, dan suku cadang otomotif Hal ini juga mendiversifikasi portofolio perdagangan Indonesia agar tidak lagi bergantung pada AS dan Tiongkok
Pertumbuhan Industri & Penciptaan Lapangan Kerja
Kemitraan ini mendorong pertumbuhan di sektor-sektor utama seperti pertanian, manufaktur, dan layanan digital. Kemitraan ini diharapkan dapat menciptakan ribuan lapangan kerja baru, terutama di sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
Keberlanjutan & Kepatuhan
Indonesia harus menyelaraskan diri dengan standar lingkungan Uni Eropa, terutama untuk minyak sawit dan perikanan. Hal ini dapat menyebabkan biaya kepatuhan yang lebih tinggi, tetapi juga membuka pintu bagi pasar premium yang menghargai keberlanjutan.
Ketahanan Rantai Pasokan
Kemitraan ini akan memperkuat peran Indonesia dalam penyediaan bahan baku penting bagi industri teknologi bersih dan baja Eropa. Kemitraan ini memposisikan Indonesia sebagai pemasok strategis dalam peralihan global menuju energi terbarukan.
Perisai Strategis Melawan Tarif
Dengan AS yang memberlakukan tarif 32% terhadap barang-barang Indonesia mulai 1 Agustus, kesepakatan Uni Eropa menawarkan pasar alternatif yang vital. Kesepakatan ini membantu Indonesia memitigasi risiko dari ketegangan perdagangan global dan kebijakan proteksionis.
Tantangan Utama Perjanjian Perdagangan Indonesia-Uni Eropa
Kesepakatan perdagangan Indonesia-Uni Eropa memang menjanjikan, tetapi bukan tanpa hambatan. Berikut beberapa tantangan utama yang mungkin dihadapi Indonesia dalam proses implementasinya:
Kepatuhan Lingkungan
Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) mewajibkan ketertelusuran yang ketat untuk produk-produk seperti minyak sawit, kopi, dan kayu. Indonesia memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi di dunia, yang dapat mempersulit kepatuhan dan menyebabkan pembatasan perdagangan. Penyelarasan dengan standar keberlanjutan Uni Eropa mungkin memerlukan reformasi yang mahal di sektor pertanian dan pertambangan.
Tekanan Industri Dalam Negeri
Membuka pasar untuk barang-barang Uni Eropa dapat membuat industri lokal menghadapi persaingan yang ketat, terutama di bidang jasa dan manufaktur. Indonesia mungkin perlu berinvestasi dalam pengembangan kapasitas untuk membantu perusahaan domestik bersaing dengan perusahaan-perusahaan Eropa.
Kekhawatiran Regulasi & Investasi
Uni Eropa mengupayakan klausul perlindungan investasi yang kuat, yang dikhawatirkan Indonesia dapat membatasi kemampuannya untuk menegakkan kebijakan kepentingan publik seperti undang-undang lingkungan dan ketenagakerjaan. Menegosiasikan keseimbangan antara hak investor asing dan kedaulatan nasional masih menjadi tugas yang rumit.
Ketegangan Politik dan Geopolitik
Kesepakatan ini berlangsung di tengah perang dagang global, termasuk tarif tinggi AS atas barang-barang Indonesia. Pergeseran aliansi geopolitik dapat memengaruhi stabilitas jangka panjang perjanjian dan prioritas perdagangan Indonesia.
Timeline dan Kesiapan Implementasi
Implementasi penuh diharapkan pada awal 2027, tetapi ratifikasi dan penyelarasan teknis mungkin akan tertunda. Indonesia harus meningkatkan infrastruktur, sistem digital, dan prosedur bea cukai agar memenuhi standar Uni Eropa.
Singkatnya, sementara kesepakatan ini membuka pintu bagi pertumbuhan, kesepakatan ini juga menuntut perombakan strategis terhadap kebijakan perdagangan, lingkungan, dan industri Indonesia.