Semuanya bermula dari pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada akhir Juli lalu. Jokowi menawarkan peluang investasi di Pulau Rempang kepada beberapa pengusaha Tiongkok. Pabrik kaca terbesar di dunia menyatakan minatnya. Pemerintah dengan cepat mengubah status Rempang Eco-City menjadi proyek strategis nasional. Dengan status ini, tidak ada yang bisa menghalangi perkembangannya
Siapa investornya dan rencana investornya?
Berdiri sejak tahun 1988 dan berkedudukan di Hong Kong, Cina, Xinyi Group, perusahaan induk dari Xinyi Glass, telah menjadi pemimpin tak bersaing dalam industri manufaktur kaca global. Dengan kapitalisasi pasar lebih dari HK$ 51,6 miliar , Xinyi Group dengan bangga diumumkan kehadirannya di lebih dari 130 negara, mulai dari Tiongkok hingga benua Amerika Selatan dan Afrika.
Sebuah langkah yang sedang mencuri perhatian orang orang yang dilakukan oleh Xinyi Glass, produsen kaca terbesar di planet ini , telah melakukan investasi mengagumkan sebesar $11,6 miliar , setara dengan Rp. 175 triliun , di Indonesia. Peristiwa ini ditandai dengan penandatanganan kesepakatan kemitraan untuk membangun pabrik kaca dan panel surya di Rempang pada 28 Juli 2023.
Masalah yang dihadapi oleh investasi ini.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, ada tiga permasalahan utama terkait konflik yang terjadi di Pulau Rempang , Batam, Kepulauan Riau terkait Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Pertama, kata Bahlil , konflik dipicu oleh tidak berjalannya komunikasi dan sosialisasi, baik antara pemerintah daerah ( Pemda ) maupun masyarakat yang berada di wilayah tersebut.
Saya sekarang memiliki tim di lapangan. Saya kira ada tiga poin, tapi jangan menyarankannya, tebakan saya. Pertana karena sosialisasinya belum berjalan baik, harus diakui. Itu komunikasi yang tidak baik,” ujarnya dalam keterangannya bersama Komisi VI DPR, Kompleks Parlemen, Senayan , Jakarta, Rabu, 13 September.
Bahlil mengaku sebelum konflik, dirinya pernah berkunjung ke Pulau Rempang dan bertemu dengan orang-orang disana. Hasil pertemuan tersebut diketahui sebagian masyarakat sudah lama tinggal di sana, sebagian lagi baru datang di atas tahun 2004. Beberapa warga sekitar sempat berdemonstrasi. Namun, kata dia, setelah dilakukan diskusi dan solusi, warga mulai menerima kedatangannya.
Kedua, lanjut Bahlil , ada masalah perizinan. Bahlil menetapkan, izin enam perusahaan telah diterbitkan di kawasan Rempang . Namun setelah ditelusuri, ternyata ada kesalahan prosedur.
“Saya jujur saja. Izinnya setelah diduga ada kesalahan prosedur, dicabut. Kami tidak tahu apa yang terjadi di balik itu semua,” ujarnya.
Ketiga, Bahlil menduga konflik yang terjadi di Rempang merupakan campur tangan asing. Apalagi pembangunan proyek ini merupakan rencana besar pemerintah.
“Dulu era BP Batam diciptakan untuk menjadi kawasan penyeimbang Singapura, sekarang apa yang terjadi?
“Ini yang viral lho, ada bule yang ngomong ( Rempang ), viral di TikTok. Agak seru juga buat kita, buat apa jaga negara kita. Ada apa?” dia melanjutkan.
Apa berikutnya?
Untuk terwujud proyek ini , penduduk di Pulau Rempang , Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru harus direlokasi ke lahan yang telah disiapkan . Diperkirakan antara 7.000 hingga 10.000 jiwa penduduk harus dipindahkan . Menurut Pak Jokowi, ketegangan di Pulau Rempang terjadi akibatnya kurang komunikasi . Ia menyatakan bahwa warga yang terdampak akan mendapatkan ganti rugi berupa lahan dan rumah , meskipun lokasi relokasi belum sepenuhnya dikomunikasikan dengan baiklah .
Meskipun demikian begitu , Bahlil tekanan bahwa proyek Rempang Eco-city harus tetap berlanjut . Baginya , investasi ini penting untuk menggerakkan roda ekonomi dan menciptakan lapangan kerja . Bahlil juga mengingatkan bahwa saat ini investasi asing terbesar dalam bentuk Penanaman Modal Asing (FDI) ada di negara-negara tetangga . Indonesia bersaing untuk menarik investor asing ke dalam negeri. Ia juga menilai bahwa batalnya investasi dari Xinyi Group akan berdampak buruk bagi Indonesia, baiklah dari segi pendapatan pemerintah maupun perekonomian masyarakat . Potensi kerugian berasal dari nilai investasi di Rempang yang mencapai lebih dari Rp300 triliun .