Seorang penyerang dunia maya menyusupi pusat data nasional Indonesia, mengganggu pemeriksaan imigrasi di bandara, dan meminta uang tebusan sebesar $8 juta, kata menteri komunikasi negara tersebut kepada Reuters pada hari Senin.
Serangan tersebut merupakan yang terbaru dari serangkaian serangan siber yang menimpa perusahaan dan lembaga pemerintah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Tahun lalu, media melaporkan bahwa rincian rekening 15 juta nasabah pemberi pinjaman Islam terbesar di negara itu Bank Syariah Indonesia (BSI) (BRIS.JK), membuka tab baru, dipublikasikan secara online. Bank tersebut tidak mengonfirmasi bahwa datanya telah bocor.
Pemerintah mengatakan lebih dari 230 badan publik, termasuk kementerian, terkena dampaknya, namun menolak membayar uang tebusan sebesar $8 juta yang diminta untuk mengambil data terenkripsi.
Bagaimana mencegah kejadian tersebut tidak terulang kembali
Kita harus sadar bahwa tidak ada tempat yang aman untuk semua infrastruktur digital,” kata Nezar, dikutip dari laman resmi Kominfo , Kamis 27 Juni 2024.
Nezar mengatakan pemerintah akan mempercepat transformasi digital ke depan. Serangan ransomware tidak akan menghalangi pemerintah untuk melakukan upaya memperkuat keamanan siber Indonesia selama proses transformasi digital. Dia pun meminta maaf kepada masyarakat atas serangan siber terhadap PDNS dan mengakui kelemahan sistemnya. Kominfo akan melakukan upaya pemulihan sistem. “Serangan yang terjadi ini menunjukkan kelemahan.
Seorang pejabat yang mengetuai badan keamanan siber Indonesia yang dikenal dengan singkatan BSSN, mengatakan 98% data pemerintah yang disimpan di salah satu dari dua pusat data yang disusupi belum dicadangkan.
Serangan ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera meningkatkan keamanan dan memastikan bahwa setiap instansi yang menggunakan Pusat Data memiliki rencana keberlangsungan bisnis yang kuat dan terstandarisasi.